ARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Menjelaskan tentang arah pembangunan berkelanjutan, tentunya kita perlu memahami arti atau makna dari pembangunan yang berkelanjutan. Beberapa pakar lingkungan telah mengemukakan definisi pembangunan berkelanjutan, di antaranya:

  • Brundtland         : proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.

  • Emil Salim           : suatu proses pembangunan yang mengopti-malkan manfaat dari sumber daya alam sumber daya manusia, dengan menyerasikan sumber alam dengan manusia dalam pembangunan.

  • Sofyan Effendi  : suatu proses pembangunan yang pemanfaatan sumber dayanya, arah invasinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

  • Hopwood           : hasil dari meningkatnya kesadaran dari jaringan global terhadap meningkatnya masalah lingkungan, masalah sosial-ekonomi (hubungannya dengan kemiskinan dan ketidaksetaraan), dan kekhawatiran tentang masa depan yang sehat bagi kemanusiaan.

Pada laporan World Commision on Environment and Development (WCED, dalam Abdurrahman 2003), yang dibentuk oleh PBB, tahun 1987 mendefinisikan pembangunan berkelanjutan (sustain-able development) sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.

Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam, sekaligus negara dengan jumlah penduduk terbesar  di Asia Tenggara atau ke tiga d Asia, sudah seharusnya menerapkan pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut agar perkembangan negara ini senantiasa berjalan di jalur yang benar (on the right track) dan terus-menerus (sustainable). Dalam konteks ini, salah satu indikatornya adalah tercukupinya kebutuhan 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia (BPS 2012) akan pangan, sandang, serta papan.

Sumberdaya alam Indonesia begitu beraneka ragam, baik yang dapat diperbarui (renewable) seperti tanaman pangan, pohon kayu, biodiversitas flora dan fauna, serta hasil perikanan; maupun yang tidak dapat diperbarui (non-renewable) seperti minyak, gas bumi, batu bara, dan barang tambang lain. Jumlahnya juga tidak sedikit, misalnya, produksi padi kita mencapai 65,75 juta ton per tahun (BPS 2012) dan cadangan gas bumi Indonesia yang sebanyak  152,89 triliun standard cubic feet (TSCF) (ESDM 2012 dalam investor.co.id 2012). Berbagai sumberdaya tersebut perlu dikelola dengan baik dan bijaksana untuk kesejahteraan rakyat generasi kini dan yang akan datang, sebagaimana amanah UUD 1945, khususnya pada pasal 33. Kemudian menurut Prof. Emil Salim (1986), untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan dibutuhkan pendekatan ekosistem dengan melihat interdepedensi dari setiap komponen ekosistem.

Pembangunan Indonesia saat ini dan yang akan datang, agar berkelanjutan harus diarahkan pada lima hal, yaitu:

1.              Keberlanjutan ekologi

Indonesia terdiri atas 17.508 pulau, mempunyai daratan seluas 1,9 juta km2 dan garis pantai sepanjang 80.791 km, serta cakupan laut seluas 3,1 juta km2. Di negara ini pula terdapat tidak kurang dari 120 gunung api (SM 2012), gunung berukuran rendah sampai tinggi dan bersalju, sungai-sungai lebar dan panjang, serta danau-danau. Keadaan demikian menyuguhkan berbagai tipe lingkungan hidup (habitat) alami bagi tumbuhan, hewan dan mikrobia. Sistem hubungan timbal balik antara lingkungan fisik/kimia dengan tumbuhan, hewan atau mikrobia dikenal sebagai ekosistem alami. Indonesia diperkirakan memiliki tidak kurang dari 47 tipe ekosistem alami (Anonim, 1996).

Dalam hal kekayaan jenis tumbuhan, hewan dan mikrobia, Indonesia merupakan salah satu pusat kekayaannya. Sebanyak 28.000 jenis tumbuhan, 350.000 jenis binatang dan 10.000 mikrobia diperkirakan hidup secara alami di Indonesia. Luas daratan Indonesia yang hanya 1,32% luas seluruh daratan di bumi, ternyata menjadi habitat 10% jenis tumbuhan berbunga, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga yang ada di dunia. Dari 515 jenis mamalia besar dunia, 36% endemik di Indonesia, dari 33 jenis primata, 18% endemik, dari 78 jenis burung paruh bengkok, 40% endemik, dan dari 121 jenis kupu-kupu dunia, 44% endemik di Indonesia (Mc Neely et al., 1990).  Dalam hal keanekaragaman di dalam jenis, Indonesia pun menjadi unggulan dunia dan dianggap sebagai salah satu pusat keanekaragaman tanaman ekonomi dunia. Jenis-jenis kayu perdagangan, buah-buahan tropika (contohnya durian, duku, salak, rambutan, dan pisang), anggrek, bambu, rotan, dan kelapa sebagian besar berasal dari Indonesia (Astirin 2000). Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekarangaman hayati terbesar di dunia (megadiversity) dan merupakan pusat keaneka-ragaman hayati dunia (megacenter of biodiversity) (Mac Kinnon, 1992).

Pembangunan di Indonesia selayaknya memperhatikan dan peduli terhadap kondisi ekologi. Sungguh sangat tidak arif apabila potensi luar biasa dari ekosistem dan biodiversitas tersebut diabaikan, bahkan sampai dirusak, hanya untuk kepentingan pembangunan sektoral sesaat. Maka pengelolaan lingungan dan pelaksanaan pembangunan harus berkelanjutan secara ekologi sebab apa yang ada pada lingkungan merupakan sumber-daya yang bernilai. Alasan lain mengapa perlu keberlanjutan ekologi, yaitu agar lingkungan hidup lestari dan bisa diwariskan ke generasi berikutnya dalam keadaan baik, atau setidaknya tidak lebih buruk dari kondisi yang kita terima dan jalani hari ini. Sehingga mereka, generasi setelah kita, masih bisa menikmati kekayaan alam ini.

2.              Keberlanjutan ekonomi

Dalam perpektif ini pembangunan ekonomi memiliki dua hal utama, yakni, berkelanjutan ekonomi makro dan ekonomi sektoral. Berkelanjutan ekonomi makro diartikan menjamin ekonomi secara berkelanjutan dan mendorong efesiensi ekonomi melalui reformasi struktural dan nasional. Sedangkan ekonomi sektoran yang berkelanjutan dapat diartikan adanya hasil yang bernilai ekonomis dari pengelolaan sumberdaya di satu sektor, misalnya pertanian, kehutanan, atau pertambangan.

Baru-baru ini dalam pelaksanaan KTT 2012, Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, mengemukaan gagasan tentang pembangunan ekonomi hijau (green economic). Salah satu inti dari gagasan tersebut adalah agar negara-negara berkembang tidak hanya mengekspor bahan baku mentah (raw material) atau setengah jadi. Hal ini tentunya untuk menekan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam demi devisa negara, yang sebenarnya bisa ditingkatkan nilainya apabila mengekspor bahan hasil kelola. Setidaknya negara produsen mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi agar nilainya lebih tinggi. Harapannya devisa yang diperoleh bisa digunakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan.

Hasil dari ekonomi makro kita sudah cukup besar, yang mana pada tahun 2011 nilai ekspor dari sektor Migas mencapai US$ 41.477 juta, bahkan sektor non-migas menyumbang devisa sebesar US$ 162.019,6 juta (BPS 2011). Sedangkan untuk ekonomi sektoral, perlu melakukan efisiensi energi dan penggunaan sumberdaya. Dengan memperhatikan daya dukung alam yang cenderung menurun dari waktu ke waktu, aktivitas ekonomi makro dan sektoral di Indonesia jangan sampai bersifat jangka pendek, tetapi perlu berkelanjutan agar devisa yang dihasilkan meningkat dan bisa terus diperoleh dalam jangka panjang.

3.              Keberlanjutan sosial – budaya

Bhineka Tunggal Ika merupakan pernyataan simbolis Bangsa Indonesia mengenai keanekaragaman kebudayaannya, tidak kurang dari 300 suku menempati wilayah nusantara. Hampir setiap suku tersebut memiliki adat atau kearifan lokal sebagai hasil penyesuaian dengan kondisi alam masing-masing. Keanekaragaman budaya ini tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu bentuk kekayaan bangsa. Kehidupan dan tata nilai yang sudah ada pada masyarakat negeri ini, seperti ramah, santun, dan gotong royong adalah modal sosial yang perlu dipertahankan dalam menjalankan pem-bangunan berkelanjutan. Misalnya, gotong royong dalam memperbaiki sarana umum bisa mengefisienkan biaya dan waktu pengerjaannya. Sikap ramah kepada tamu, seperti di Bali dan Jawa misalnya, membuat orang luar merasa diterima dan tertarik untuk bekerja sama. Kesamaan derajat juga perlu ditumbuhkan dalam tatanan masyarakat berbangsa agar antar suku atau kebudayaan tidak ada yang merasa superior atau inferior.

Secara menyeluruh keberlanjutan sosial dan budaya dinyatakan dalam

keadilan sosial, harga diri manusia dan peningkatan kualitas hidup seluruh manusia. Aspek budaya erat kaitannya dengan aspek sosial yang berdimensi pada manusia dalam hal interaksi, interrelasi dan interdependesi.

Pada era globalisasi di mana arus peredaran informasi dan barang begitu deras, hendaknya tidak mengaburkan identitas dan karakter bangsa. Arus informasi “asing” memungkinkan mengubah pola interaksi, interrelasi dan interdependesi yang sudah ada di masyarakat Indonesia. Kita sebaiknya mampu memfilter setiap produk kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia, karena belum tentu apa-apa yang datang dari luar itu benar dan sesuai dengan situasi dan kondisi alam atau karakter bangsa Indonesia. Modal sosial yang rusak bisa diartikan kualitas sumberdaya manusia yang lemah, akibat hilangnya identitas masyarakat dan bangsa, hanya akan berdampak buruk bagi pembangunan.

4.              Keberlanjutan politik

Politik memiliki peran penting dalam “mengamankan” pembangunan berkelanjutan karena unsur politik yang membuat peraturan (regulasi) dan tata kelolanya. Politik yang kurang atau tidak berkelanjutan biasanya lahir dari perspektif parsial dan pragmatis, yang mana cenderung mementingkan tuntutan kepentingan saat ini, dalam jangka pendek, tanpa peduli dengan akibat yang mungkin terjadi kemudian dari suatu keputusan atau kebijakan yang dilaksanakan.

Keberlanjutan politik diarahkasn pada respek pada human right, kebebasan individu dan sosial untuk berpartisipasi dibidang ekonomi, sosial dan politik. Respon politik terhadap dinamika dan isu yang terjadi di dalam atau luar negeri memang perlu cepat, namun harus menyeluruh (multi aspek), salah satunya memperhatikan aspek ekologi. Selain itu, demokrasi yang dilaksanakan perlu memperhatikan proses demokrasi yang transparan dan bertanggung jawab, adanya kepastian kesedian pangan, air, dan pemukiman bagi masyarakat luas.

5.              Keberlanjuran pertahanan dan keamanan

Wilayah nusantara yang terdiri atas 17.508 pulau, mempunyai daratan seluas 1,9 juta km2 dan cakupan laut seluas 3,1 juta km2 ini memerlukan pertahanan yang kuat agar keamanan terjamin. Bangsa dan negara dituntut untuk memiliki kemampuan menghadapi dan mengataasi tantangan, ancaman, dan gangguan baik dari dalam dan luar, yang langsung dan tidak langsung; yang dapat membahayakan integritas, identitas negara dan bangsa. Pembangunan berkelanjutan memperhatikan juga aspek pertahanan dan keamanan ini agar proses pembangunan di berbagai sektor berjalan dengan baik tanpa adanya hambatan berarti.

Tema besar “pembangunan berkelanjutan” memang bukan barang baru sebagai isu nasional bahkan global, namun dalam pelaksanaannya masih belum dipahami dengan baik dan oleh karenanya masih menunjukkan banyak kerancuan pada tingkat kebijakan dan pengaturan, sehingga sering bermasalah pada tatanan implementasi. Konsep yang tepat untuk mewujudkannya masih terus berkembang, disesuaikan dengan situasi dan kondisi di mana ia diterapkan. Kemudian, agar keberlanjutan tetap terjaga maka harus ada komitmen setiap komponen penyangga kehidupan dan campur tangan pemerintah dengan melibatkan lembaga swadaya masyarakat (Emil Salim 1986). Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembangunan  berkelanjutan ini sangat diperlukan kolaborasi dan koordinasi antar stakeholder.

2 comments on “ARAH PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Tinggalkan komentar